ADA APA DENGAN STUNTING?
Sering kita mendengar tentang
stunting di Indonesia. Sudahkah kalian mengetahui apa itu stunting? Stunting
merupakan keterhambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang dirasakan oleh
anak karena kondisi malnutrisi, ketidakcukupan stimulasi psikososial, penyakit
infeksi yang berulang dari segi kebersihan dan sanitasi lingkungannya seperti
saat diare banyak zat gizi yang keluar dan penyerapan zat gizi yang tidak
optimal menyebabkan peningkatan kebutuhan asupan gizi dimana ketika asupan gizi
tadi tidak terpenuhi bisa menyebabkan si anak mengalami hambatan dalam tumbuh
kembangnya yang menyebabkan stunting (WHO, 2018). Menurut buku SK Antropometri
Kemenkes 2010, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks PB menurut Umur (PB/U) atau TB/U yg merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Berdasarkan
jurnal yang ditulis Mercedes dan Francesco di US National Library of Medicine
tahun 2016, di tahun 2013 diperkirakan 161 juta penduduk dunia adalah stunting.
Data RISKESDAS 2013 prevalensi pendek di Indonesia secara nasional sebesar 37,2%
yang terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek, dan saat ini Indonesia
menempati 5 besar didunia untuk angka stunting. Stunting dapat dideteksi sejak saat
lahir. Bayi stunting adalah bayi yang PB lahirnya <48 cm dan cenderung mengalami
BBLR. Walaupun bayi yang lahir dengan PB normal, tetap bisa mengalami stunting
jika tidak didukung dengan asupan yang cukup dan baik dan juga dipengaruhi oleh
penyakit infeksi. Z-score antara -3,0 SD s/d <-2,0 SD menunjukkan stunting dan severe stunting untuk < -3,0 SD.
Menurut WHO, prevalensi balita
pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih.
Berdasarkan data IPKM 2013, prevalensi stunting tertinggi di Indonesia terjadi
di Provinsi NTT tepat nya di Timor Tengah Selatan yaitu sebesar 70,43% atau sekitar
38.773 balita stunting. Sedangkan menurut PSG 2015, sebesar 29% balita
Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Beberapa provinsi diatas masih
memiliki persentase stunting tinggi
Akar masalah stunting sendiri ada
dari non kesehatan , baik masalah ekonomi (belum mampu menyediakan makanan
sesuai dengan pesan gizi seimbang), politik (kebijakan yang tidak berjalan
dengan baik), sosial-budaya(seperti food taboo menghindari makanan yang bergizi
mengikuti leluhur sebelumnya) , kurangnya pemberdayaan perempuan (terkait
pengolahan dan pengetahuan tentang makanan bergizi), serta masalah degradasi
lingkungan (Supariasa et al., 2012).
Karena hal tersebut, Menteri kesehatan
menegaskan bahwa aspek kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan
masyarakat. “Menurut UNICEF, penyebab utama gizi buruk dan stunting adalah
kemiskinan. Bangsa kita agak kesulitan mengatasi masalah ini karena kemiskinan
belum bisa diatasi dengan sempurna," kata guru besar Departemen Gizi
Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS. Menurut
Community for Development UNICEF Aceh Zone, Nurdahlia Lairing, banyak kebiasaan
buruk dan persepsi salah yang masih dilakukan oleh masyarakat di lingkungannya.
"Antara lain tak memberikan ASI eksklusif pada bayinya," katanya di
kantor UNICEF Aceh, di Banda Aceh, Aceh.
Menurut hasil rapat kerja kesehatan
nasional 2018, penyebab langsung dari stunting yaitu penyebab yang berasal dari
internal penderita yaitu asupan gizi dan infeksi. Asupan gizi disini apabila
asupan gizi yang kurang dapat mempengaruhi daya tahan tubuh si penderita
(imunitas), sehingga tumbuh kembang anak dapat terganggu. Infeksi disini
seperti apa yang telah dijelaskan yang berawal dari kurangnya asupan gizi yang
membuat anak kehilangan daya tahan tubuhnya dan nafsu makannya maka anak akan
mudah terkena atau terpapar oleh penyakit yang menyebabkan infeksi.
Sedangkan
penyebab tidak langsung, yaitu:
1.
Ketersediaan pangan Rumah Tangga. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor
ekonomi rumah tangga. Karena semakin tinggi daya beli maka semakin mampu rumah
tangga dalam melengkapi ketersediaan pangannya (Apri, 2015)
2.
Pengetahuan ibu. Seorang ibu yang mendidik anaknya tanpa ilmu akan sangat
berbeda dengan yang tanpa ilmu. Ibu dengan pegetahuan yang luas dapat mengetahui
pola asuh, kebutuhan dan kecukupan gizi anak dan keluarganya yang berhubungan
juga dengan tingkat pendidikan.
3.
Pelayanan kesehatan. Adanya pelayanan kesehatan sekitar maka masalah stunting
dapat diatasi dengan cepat dan tepat oleh ahli gizi yang ada di daerah
tersebut.
Kurangnya
akses ke air bersih dan sanitasi juga menjadi salah satu penyebab stunting.
Kemudian Stunting juga disebabkan oleh Faktor Multi Dimensi, intervensi paling
menentukan pada 1000 HPK.
(Buku
Saku Desa dalam Penanganan Stunting, Kementrian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi, 2017).
Dampak stunting bagi penderita
yaitu perkembangan terhambat, gangguan
metabolisme dalam tubuh, kekebalan tubuh menurun. Sedangkan untuk dampak
jangka panjang, yaitu menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar dan
resiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua
Indonesia
mengalami kerugian sekitar 300 triliun dikarenakan adanya stunting. Mengapa hal
itu terjadi?
Jika
kita menilik lebih dalam, stunting sangat berpengaruh terhadap kualitas sdm dan
perkembangan ekonomi suatu negara. Karena kecerdasan otaknya terganggu, ukuran
fisik nya tidak optimal, anak BBLR yang menjadi stunting tidak bisa
menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berdaya saing.
Pendekatan untuk mengurangi angka
stunting di suatu negara, khususnya Indonesia dapat dilakukan dengan intervensi
gizi spesifik da intervensi gizi sensitif.
1.
Intervensi Gizi Spesifik
Dilakukan
melalui sektor kesehatan yang berfokus kepada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) anak yang berkontribusi 30% pada penurunan stunting. Pertama dilakukan Intervensi
dengan sasaran ibu hamil melalui memberikan makanan tambahan pada ibu hamil
untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat
besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada
ibu hamil. Kedua, Intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6
bulan, yaitu mendorong inisiasi menyusui dini (IMD),mendorong pemberian ASI
Eksklusif. Ketiga, Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23
bulan, yaitu mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi
oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, penyediaan suplementasi zink, melakukan
fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan imunisasi lengkap, melakukan
pencegahan dan pengobatan diare.
2.
Intervensi Gizi Sensitif
Intervensi
yang ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan
dengan sasaran masyarakat umum. Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi
Stunting. Kegiatan yang dilakukakn seperti menyediakan dan memastikan akses
pada air bersih serta sanitasi, melakukan fortifikasi bahan pangan, menyediakan
akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), menyediakan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua,
memberikan pendidikan anak usia dini, memberikan pendidikan gizi masyarakat,
meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Intervensi
yang dapat dilakukan sebagai mahasiswa gizi untuk mengurangi angka stunting
dengan menyediakan konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau
suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi
beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI
melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen
makanan di daerah rawan pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan
beban terkait penyakit. Tentunya melibatkan banyak aspek dari orang pangan,
kesmas, gizi, farmasi, politik, ekonomi, dsb.
Sebagai mahasiswa gizi,
optimalisasi peran kementrian agama dan pemberdayaan perempuan sangat
dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat bagaimana menjadi keluarga yang sehat
serta mengedukasi para perempuan yang belum menikah agar lebih dipikirkan lagi
jika ingin menikah muda untuk mempersiapkan segalanya bersama pasangannya juga
bertanggung jawab pada tumbuh kembang sang anak yang akan menjadi generasi
penerus bangsa mengenai pentingnya pemenuhan gizi dimulai saat prekonsepsi .
Pentingnya optimalisasi peran penggerak di suatu daerah, khususnya ibu PKK dan maksimalisasi
peran POSYANDU. Kemudian, optimalisasi dari sektor pangan lokal yang akan bekerjasama
dengan lulusan pangan, diskusi apa saja bahan makanan lokal yang bisa diolah
dan ditanam secara mandiri oleh masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhan zat
gizi yang diperlukan. PENDEKATAN dengan masyarakat daerah tersebut secara
perlahan serta bantuan TOKOH MASYARAKAT daerah tersebut untuk mengajak
masyarakat agar mau peduli dengan stunting dan mengubah pola hidup menjadi
lebih sehat. Dengan adanya kerjasama dari berbagai sektor diharapkan angka
stunting di Indonesia bisa menurun dan terbebas dari stunting.
Sumber:
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Stunting.
Buku
Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi. 2017. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh
stunting. Jakarta.
http://www.depkes.go.id/article/view/18040700002/cegah-stunting-dengan-perbaikan-pola-makan-pola-asuh-dan-sanitasi-2-.html Online, diakses pada 31 Juli
2018
http://www.depkes.go.id/article/view/18052800006/ini-penyebab-stunting-pada-anak.html Online, diakses pada 31 Juli
2018
http://www.indonesian-publichealth.com/stunted-pada-balita/ Online, diakses pada 31 Juli
2018
Supariasa,
2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hasil kajian departemen Isu dan Advokasi ILMAGI 2018/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar