Kamis, 07 Februari 2019

ADA APA DENGAN STUNTING?


ADA APA DENGAN STUNTING?
Sering kita mendengar tentang stunting di Indonesia. Sudahkah kalian mengetahui apa itu stunting? Stunting merupakan keterhambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang dirasakan oleh anak karena kondisi malnutrisi, ketidakcukupan stimulasi psikososial, penyakit infeksi yang berulang dari segi kebersihan dan sanitasi lingkungannya seperti saat diare banyak zat gizi yang keluar dan penyerapan zat gizi yang tidak optimal menyebabkan peningkatan kebutuhan asupan gizi dimana ketika asupan gizi tadi tidak terpenuhi bisa menyebabkan si anak mengalami hambatan dalam tumbuh kembangnya yang menyebabkan stunting (WHO, 2018). Menurut buku SK Antropometri Kemenkes 2010, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB menurut Umur (PB/U) atau TB/U yg merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Berdasarkan jurnal yang ditulis Mercedes dan Francesco di US National Library of Medicine tahun 2016, di tahun 2013 diperkirakan 161 juta penduduk dunia adalah stunting. Data RISKESDAS 2013 prevalensi pendek di Indonesia secara nasional sebesar 37,2% yang terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek, dan saat ini Indonesia menempati 5 besar didunia untuk angka stunting. Stunting dapat dideteksi sejak saat lahir. Bayi stunting adalah bayi yang PB lahirnya <48 cm dan cenderung mengalami BBLR. Walaupun bayi yang lahir dengan PB normal, tetap bisa mengalami stunting jika tidak didukung dengan asupan yang cukup dan baik dan juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Z-score antara -3,0 SD s/d <-2,0 SD menunjukkan stunting dan severe stunting untuk < -3,0 SD.
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Berdasarkan data IPKM 2013, prevalensi stunting tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi NTT tepat nya di Timor Tengah Selatan yaitu sebesar 70,43% atau sekitar 38.773 balita stunting. Sedangkan menurut PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Beberapa provinsi diatas masih memiliki persentase stunting tinggi
Akar masalah stunting sendiri ada dari non kesehatan , baik masalah ekonomi (belum mampu menyediakan makanan sesuai dengan pesan gizi seimbang), politik (kebijakan yang tidak berjalan dengan baik), sosial-budaya(seperti food taboo menghindari makanan yang bergizi mengikuti leluhur sebelumnya) , kurangnya pemberdayaan perempuan (terkait pengolahan dan pengetahuan tentang makanan bergizi), serta masalah degradasi lingkungan (Supariasa et al., 2012).
Karena hal tersebut, Menteri kesehatan menegaskan bahwa aspek kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat. “Menurut UNICEF, penyebab utama gizi buruk dan stunting adalah kemiskinan. Bangsa kita agak kesulitan mengatasi masalah ini karena kemiskinan belum bisa diatasi dengan sempurna," kata guru besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS. Menurut Community for Development UNICEF Aceh Zone, Nurdahlia Lairing, banyak kebiasaan buruk dan persepsi salah yang masih dilakukan oleh masyarakat di lingkungannya. "Antara lain tak memberikan ASI eksklusif pada bayinya," katanya di kantor UNICEF Aceh, di Banda Aceh, Aceh.
Menurut hasil rapat kerja kesehatan nasional 2018, penyebab langsung dari stunting yaitu penyebab yang berasal dari internal penderita yaitu asupan gizi dan infeksi. Asupan gizi disini apabila asupan gizi yang kurang dapat mempengaruhi daya tahan tubuh si penderita (imunitas), sehingga tumbuh kembang anak dapat terganggu. Infeksi disini seperti apa yang telah dijelaskan yang berawal dari kurangnya asupan gizi yang membuat anak kehilangan daya tahan tubuhnya dan nafsu makannya maka anak akan mudah terkena atau terpapar oleh penyakit yang menyebabkan infeksi.
Sedangkan penyebab tidak langsung, yaitu:
1. Ketersediaan pangan Rumah Tangga. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor ekonomi rumah tangga. Karena semakin tinggi daya beli maka semakin mampu rumah tangga dalam melengkapi ketersediaan pangannya (Apri, 2015)
2. Pengetahuan ibu. Seorang ibu yang mendidik anaknya tanpa ilmu akan sangat berbeda dengan yang tanpa ilmu. Ibu dengan pegetahuan yang luas dapat mengetahui pola asuh, kebutuhan dan kecukupan gizi anak dan keluarganya yang berhubungan juga dengan tingkat pendidikan.
3. Pelayanan kesehatan. Adanya pelayanan kesehatan sekitar maka masalah stunting dapat diatasi dengan cepat dan tepat oleh ahli gizi yang ada di daerah tersebut.
Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi juga menjadi salah satu penyebab stunting. Kemudian Stunting juga disebabkan oleh Faktor Multi Dimensi, intervensi paling menentukan pada 1000 HPK.
(Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting, Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017).
Dampak stunting bagi penderita yaitu perkembangan terhambat, gangguan  metabolisme dalam tubuh, kekebalan tubuh menurun. Sedangkan untuk dampak jangka panjang, yaitu menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar dan resiko tinggi untuk  munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan  pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua
Indonesia mengalami kerugian sekitar 300 triliun dikarenakan adanya stunting. Mengapa hal itu terjadi?
Jika kita menilik lebih dalam, stunting sangat berpengaruh terhadap kualitas sdm dan perkembangan ekonomi suatu negara. Karena kecerdasan otaknya terganggu, ukuran fisik nya tidak optimal, anak BBLR yang menjadi stunting tidak bisa menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berdaya saing.
Pendekatan untuk mengurangi angka stunting di suatu negara, khususnya Indonesia dapat dilakukan dengan intervensi gizi spesifik da intervensi gizi sensitif.
1. Intervensi Gizi Spesifik
Dilakukan melalui sektor kesehatan yang berfokus kepada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) anak yang berkontribusi 30% pada penurunan stunting. Pertama dilakukan Intervensi dengan sasaran ibu hamil melalui memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil. Kedua, Intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, yaitu mendorong inisiasi menyusui dini (IMD),mendorong pemberian ASI Eksklusif. Ketiga, Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan, yaitu mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, penyediaan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan imunisasi lengkap, melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
2. Intervensi Gizi Sensitif
Intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dengan sasaran masyarakat umum. Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Kegiatan yang dilakukakn seperti menyediakan dan memastikan akses pada air bersih serta sanitasi, melakukan fortifikasi bahan pangan, menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, memberikan pendidikan anak usia dini, memberikan pendidikan gizi masyarakat, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Intervensi yang dapat dilakukan sebagai mahasiswa gizi untuk mengurangi angka stunting dengan menyediakan konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen makanan di daerah rawan pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan beban terkait penyakit. Tentunya melibatkan banyak aspek dari orang pangan, kesmas, gizi, farmasi, politik, ekonomi, dsb.
Sebagai mahasiswa gizi, optimalisasi peran kementrian agama dan pemberdayaan perempuan sangat dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat bagaimana menjadi keluarga yang sehat serta mengedukasi para perempuan yang belum menikah agar lebih dipikirkan lagi jika ingin menikah muda untuk mempersiapkan segalanya bersama pasangannya juga bertanggung jawab pada tumbuh kembang sang anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa mengenai pentingnya pemenuhan gizi dimulai saat prekonsepsi . Pentingnya optimalisasi peran penggerak di suatu daerah, khususnya ibu PKK dan maksimalisasi peran POSYANDU. Kemudian, optimalisasi dari sektor pangan lokal yang akan bekerjasama dengan lulusan pangan, diskusi apa saja bahan makanan lokal yang bisa diolah dan ditanam secara mandiri oleh masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan. PENDEKATAN dengan masyarakat daerah tersebut secara perlahan serta bantuan TOKOH MASYARAKAT daerah tersebut untuk mengajak masyarakat agar mau peduli dengan stunting dan mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Dengan adanya kerjasama dari berbagai sektor diharapkan angka stunting di Indonesia bisa menurun dan terbebas dari stunting.

Sumber:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Stunting.
Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. 2017. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh stunting. Jakarta.
Supariasa, 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hasil kajian departemen Isu dan Advokasi ILMAGI 2018/2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar